Jumat, 22 Oktober 2010

sampai kau mengerti

Ketika cahaya mentari mulai meredup
Saat langit senja kian merona
Disini aku menanti
Berharap sang bidadari ku mengerti akan galaunya hati ini

Mungkin terdengar usang namun inilah yang ku rasakan
Perih memang tak bisa memiliki
Namun ku akan mencoba tuk tetap bertahan dengan asa ku
Asa yang mengisi relung hati yang dulu hampa dan membeku

Disini sekarang dan nanti aku akan menanti
Menanti hingga kau mengerti isi hati ku
Menanti sampai kau memahami ketulusan rasa yang ku punya
Mungkin lelah dan bosan akan menerpa ku tapi aku akan tetap mencoba untuk bertahan, bertahan hingga ku tak mampu lagi menahannya

Sampai nanti sampai kau mengerti semuanya

sore yang menyudutkan hati

SORE YANG MENYUDUTKAN HATI

Suatu sore aku bersantai disebuah tempat nongkrong, yach bisa dibilang sebuah café lah. Café itu di tata dengan campuran artistic modern dan sedikit gaya klasik ala barat yang menampilkan kesan wah namun tetap enak untuk bersantai. Saat sedang asyik duduk dan memeperhatikan orang-orang (salah satu hobi ku adalah mengamati aktivitas manusia yang beragam) dari jauh ku lihat seorang anak kecil dengan bajunya yang lusuh dan rada kumal berjalan menuju café itu. Ia tidak masuk hanya memandang ke dalam dari sisi luar jalan masuk dengan jarak yang kira-kira 5 samapi 10 meter lah. Anak itu berdiri mematung sambil memegangi perutnya dan secara samar mengatakan bahwa ia kelaparan. Iba dan rasa kasihan ku muncul melihatnya, ku tahu uang ku tak cukup untuk mentraktirnya minum apalagi makan karena aku hanya bawa uang sedikit, namun ku putuskan untuk menghampirinya dengan pikiran mungkin aku bias memberinya uang untuk membeli sepotong roti dan es ditempat lain yang lebih murah. Namun aku terkejut saat aku beranjak dan berjalan beberapa langkah ku dengar dan lihat ia di bentak oleh seseorang entah pegawai atau pemilik tempat itu aku tag tahu. Anak itu diusir. Pikiran ku mengatakan dimanakah rasa social orang tadi, bagaimana bila ia berada diposisi anak itu, yach tapi sudahlah anak itu sudah menjauh untuk ku hampiri. Terenyuh hati ku melihat kenyataan barusan.
Sore di hari yang lain aku kembali bersantai namun bukan ditempat yang waktu itu, kali ini ditempat yang lain yang lebih murah karena uang ku juga semakin menipis. Bagaimana tidak menipis ini sudah akhir bulan ditambah lagi banyak bahan-bahan materi ujian semester dari dosen yang mesti aku fotokopi jadi ku lebih memilih bersantai ditempat yang murah yang pentingkan masih bisa bersantai. Tempat ini hanya sebuah warung kecil di pinggir jalan. Lama juga aku bersantai ada sekitar satu jam lah. Dari arah yang tidak terlalu jauh ku lihat pengemis ibu-ibu tua datang. Yach, ku kira pengemis itu akan mengalami nasib yang sama dengan anak kecil yang waktu itu, namun aku terkejut dengan apa yang ku lihat. Pemilik warung yang juga seorang ibu, mungkiin usianya sekitar 40 atau 50 tahun, mempersilakan pengemis itu untuk duduk. Pengemis itu diberi tempat agak dipojok. Ia diberi minuman dan makanan. Setelah pengemis itu merasa kenyang ia kemudian pamit dan mengucapkan terimakasihnya namun pemilik warung itu menyuruhnya menunggu ia selesai melayani pembeli, diluar dugaan pemilik warung itru merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar sepuluh ribuan dan memberikannya kepada pengemis itu dan berkata ini untuk beli susu si kecil bu katanya, karena ia melihat pengemis itu mengendong bayi mungil.
Sungguh sebuah ironi. Tempat yang mewah yang seharusnya mempunyai penghasilan yang besar tidak memberikan selain bentakan kepada anak kecil yang kelaparan padahal anak kecil itu tidak meminta makan mewah, ia hanya melihatdan berdiri mematung namun sang pemilik tak mau memberinya apa-apa, tak perlu banyak selembar lima ribuan ku kira cukup untuk sedikit mengobati rasa laparnya. Dan di sisi lain sebuah warung kecil yang pemilik dengan ikhlas memberi seorang pengemis ibu-ibu tua makan dan minum bahkan diberi uang juga padahal ia sama sekali tidak kenal dengan pengemis itu dan penghasilannya perhari pun tidaklah besar.
Ini lah kehidupan, saat sebuah ironi menampilkan si kaya dengan hati batunya dan si miskin dengan hati yang lembut. Ironi yang terkadang membuat kita tercengang.