Sabtu, 21 Mei 2011

sedikit opini tentang prismatic society dan nepotisme

Dalam masyarakat prismatik yang merupakan transisi perubahan dari masyarakat tradisonal ke masyarakat modern masih menyisakan ciri masyarakat terdisional di dalamnya. Masyarakat prismatik atau prismatik society seakan mengadopsi mentah-mentah sebagian budaya dan ciri dari masyarkat tradisonal tanpa mempedulikan kesesuaian hal tersebut dengan kondisi yang dijalaninya sebagai suatu proses menuju masyarakat modern atau masyarkat madani. Salah satu ciri tersebut yakni particularisme yang bisa kita artikan sebagai kondisi dimana suatu masyarakat masih lebih mengedepankan nilai-nilai primordialisme dalam interaksi sosial dan politiknya. Salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan ciri tersebut yakni masalah nepotisme yang tumbuh subur seperti jamur di musim hujan.
Praktek nepotisme sendiri menjadi persoalan krusial dari birokrasi di Indonesia. Budaya dalam birokrasi sangat dipengaruhi oleh budaya yang berkembang dalam masyarakat. Budaya rasional birokrasi yang di anjurkan weber dan dipakai sebagai pedoman birokrasi negara kita seakan telah tenggelam dalam hiruk-pikuk budaya ''welas asih'', ''balas budi'', ''hormat pada atasan'' atau ''hormat kepada yang lebih tua''. Budaya ini yang seharusnya menajdi aset bangsa yang harusnya kita banggakan jutsru ditempatkan dalam situasi dan kondisi yang salah. Padahal budaya tersebut semestinya diletakkan dalam tempat, konteks dan porsi yang berbeda dari konteks budaya birokrasi dan pengaplikasian tugas serta fungsi birokrasi itu sendiri.
Sudah begitu sering kita disajikan kasus-kasus nepotisme dikalangan pemerintah kita, bukan hanya pemerintah pusat saja namun juga merambah ke tingkat daerah. Semangat kekerabatan dan segala hal yang berkaitan dengan primordialisme sangat dikedepankan. Hal ini diperparah dengan adanya penempatan yang salah dari salah satu aset penting budaya kita. Begitu banyak masalah atau kasus nepotisme yang ada tidak terlahir begitu saja namun karena adanya ruang yang secara sadar telah diberiakn oleh masyarakat, khususnya dalam ”semaraknya euforia primordialisme” dimasyarkaat kita. Banyak birokrat kita yang duduk di jabatannya bukan karena kemampuannya yang memang memadai dan memenuhi standar kualifikasi namun lebih karena memiliki sejumlah kerabat dalam jajaran kepemerintahan, entah karena hubungan darah, kelompok ataupun suku / ras tertentu.
Praktek nepotisme dalam birokrasi bisa didasarkan pada hubungan patron-client yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya, ada satu kecenderungan tertentu di kantor-kantor pemerintahan bahwa bila orang tertentu yang memegang wewenang atau kekuasaan tertentu cenderung mengambil kerabat, sanak saudara, atau teman sedaerah, sealmamater sebagai ''client''. Dengan demikian, hubungan perkerabatan melingkupi pola budaya birokrasi. Hal yang seperti ini tidak membawa dampak yang cukup bagus untuk masyarakat dan birokrasi itu sendiri. Dan yang lebih mengherankan lagi adalah kenyataan bahwa hal ini justru membawa dampak yang tidak inginkan seolah diabaikan oleh masyarakat dan birokrat secara sadar ataupun tidak. Nepotisme yang diakibatkan dari dijunjung tingginya nilai primordialisme seakan menyudutkan para birokrat kita yang berusaha untuk tetap mengedepankan prinsip rasionalitas dalam praktek birokrasi. Sebagai contoh cukup sering kita jumpai bagaimana seorang birokrat yang dikucilkan dari kelompoknya atau pun dikatakan sombong dan berbagai macam hal lain yang bertujuan menjatuhkan sang birokrat hanya karena sang birokrat tersebut mencoba untuk lebh rasional dalam memilih rekan kerjanya dalam penjalanan praktek tugas dan fungsi birokrasi. Dan karena hal ini dan juga bingung untuk bagaimana dan darimana memulai pemberantasan ”hama birokrasi ini” terpaksa melakukan bargaining atau tawar menawar dengan keadaan.
Praktek nepotisme yang dihasilkan dari berlakunya ciri particularisme ini tidak menyisakan dampak yang baik bagi kehidupan msayarakat dan negara ini. Praktek seperti ini lebih banyak menghasilkan para pejabat negara yang moral dan keprofesionalannya jauh dibawah standar. Hal ini tentu saja berdampak pada buruknya pelayanan publik yang dilakukan, belum lagi jika dalam pelayanannya pun para birokrat ini ternyata juga lebih mengedepankan semangat priomordialisme yang begitu membara dalam hati dan pikiran sempitnya sehingga menimbulkan diskriminasi pelayanan publik. Bila hal ini terus berkelanjutan maka bukan tidak mungkin kemungkinan masyarakat prismatik society untuk menjadi masyarakat modern menjadi semakin jauh.